Welcome to my blog! Let's talk and share about Anime, J-Pop, Game, etc! Don't forget to leave your comment or share my post! Enjoy it ~(^o^~)(~^o^)~

7/06/2011

~ Always Remember You ~ By. Ichiiserenade

“Perkenalkan! Namaku Raubutto Airi! Salam kenal ya, Hikari!”

Halo, musim semi sekarang, ya… Saatnya memulai semester baru yang selama ini kutunggu-tunggu setelah liburan! Aku sangat menanti saat-saat ini! Ya, bertemu dengan teman lamaku di sekolah adalah hal yang paling kutunggu. Semoga saja dia membawa kabar baik tentang liburannya ke Australia. Ya, namanya adalah Raubutto Airi, dia berbeda kelas denganku, walaupun beda kelas, kami tetaplah dekat, karena dia yang pertama kali kukenal sejak kecil. Dialah teman bermainku.

Saat masuk ke kelas, aku belum melihat kedatangan Airi di kelas, biasanya kalau sudah datang, ia akan datang ke kelasku untuk menungguku dan berbagi cerita yang menyenangkan. Tapi, dia belum juga muncul sampai sekarang. Ya sudahlah, aku tunggu dia saja. Bel masuk pun berbunyi dan akhirnya Airi muncul, aku pun menyapanya dengan senang.

“Airi! Selamat pagi! Bagaimana liburanmu?”

Dengan tidak sengaja, kulihat wajah Airi yang menunjukkan ekspresi sedih. Ia hanya lewat begitu saja, tidak ada jawaban ataupun sapaan yang biasanya ia lakukan kepadaku setiap saat. Aku bingung, apa yang sedang terjadi dengannya? Saat istirahat pun aku mencoba mengajak makan bersama, dan jawabannya adalah, “Tidak usah, aku sedang tidak lapar…” Ada apa dengannya sebenarnya? Aku semakin penasaran dan ketika pulang pun aku tanya, “Airi, kau kelihatan tidak bersemangat, kenapa?” Dan lagi, jawabannya adalah, “Eh? Masa? Hahahaha! Nggak ada apa-apa kok hahaha!” Ekspresi memaksa… Ya, aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu, dia mencoba menyembunyikan ekspresi aslinya, agar aku tidak merasa cemas, tapi aku tahu betul, kau sedang ada masalah yang mungkin aku tidak bisa bantu… Tapi siapa tahu aku bisa membantunya sedikit. Seperti biasanya, aku bersama dengan Airi selalu pulang bersama, tapi dengan suasana yang berbeda. Biasanya dia menceritakan sesuatu tentang Australia atau cerita horror yang ia dengar atau cerita lain, tetapi… Kali ini, ia hanya terdiam dengan ekspresinya yang membuatku khawatir. “Airi? Kau tidak apa-apa kan? Kalau ada apa-apa, ceritakan saja padaku!”, kataku dengan semangat. Tetapi, jawabannya adalah, “Sudah kubilang, ini tidak apa-apa…”

“Tapi kau lain dari biasanya, Airi… Ada masalah ya?”

“Nggak ada, Hikari… Nggak ada apa-apa, jangan khawatir!” Justru itu yang membuatku khawatir, Airi! Kalau kamu tidak cerita, aku pasti akan tambah khawatir lagi! Atau aku harus bertanya kepada orang tuanya ya? Tapi, jangan-jangan ini urusan keluarga, jadi nggak usah deh… Keesokan harinya, aku melihat bangku yang biasanya Airi gunakan itu kosong. Ya ampun, ke mana dia? Kenapa dia tidak mengabariku? Biasanya jika tidak masuk, dia akan mengabariku lewat SMS, apa mungkin aku ke rumahnya saja ya? Yasudahlah, kuputuskan untuk pergi ke rumahnya untuk melihat situasi Airi. Dan saat aku sampai di depan rumah Airi, saat hendak kuketuk pintu rumahnya, terdengar suara perdebatan antara Airi dan Ibunya.

“Aku tidak mau meninggalkan kota ini, Bu!”

“Apa kau mau tinggal di sini sendirian?! Kau harus ikut bersama Ibu ke Australia!”

“Nggak mau!!! Aku ingin tetap bertahan di kota ini!” Apa ini…? Jadi, itu akibatnya ia berekspresi aneh dan menyembunyikan perasaan sesungguhnya terhadapku? Airi akan pindah ke Australia? Saat itu juga, aku berpikir untuk tidak mengetuk pintu rumahnya dan berlari menuju taman bermain yang sedang kosong di dekat rumah Airi. Sambil duduk di sebuah ayunan yang sudah agak berkarat itu pun aku berpikir tentang Airi jika ia benar-benar akan pindah dan meninggalkan kota ini. Aku… Aku tidak akan punya teman lagi! Temanku yang terbaik hanyalah Airi! Aku menyukai Airi! Aku tidak mau Airi pergi! Aku ingin… Aku ingin Airi tetap bersamaku selamanya di kota ini! Tiba-tiba…

“H-Hikari?”

“Ah…”, kupandang wajah Airi yang terkejut melihatku ada di taman itu. Melihat wajahnya saja aku sudah meneteskan air mata perlahan. Lalu Airi duduk di ayunan yang ada di sebelahku. “Jadi, kau sudah mengetahuinya, Hikari?”, tanyanya dengan wajah serius. Aku hanya menganggukkan kepala sambil mengusap air mataku. “Hikari, sebenarnya aku tidak mau meninggalkan kota ini! Aku ingin tetap ada di sini bersama Hikari! Bertemu Hikari setiap saat, dan selalu berbagi cerita denganmu… Tapi Ibu memaksaku, aku bingung harus bagaimana…”, katanya dengan menundukkan kepalanya.

“Airi… Aku juga tidak mau berpisah denganmu…”

“Hikari…” Kaulah temanku yang paling baik dan paling hebat yang selama ini pernah aku dapatkan. Jika kamu pergi, siapa penggantinya? Kau adalah teman yang berbeda dengan teman-temanku yang lain, kau lebih hebat, jujur, pintar, ceria, dan penghibur. Tak ada yang memiliki sifat seperti kamu. Aku tidak punya teman seperti itu selain kamu… Maka dari itu, jangan pergi, Airi! “Ah, di sini mulai dingin, Hikari, ayo masuk ke rumahku dulu saja! Aku punya teh yang enak!”, tiba-tiba Airi mengajakku masuk karena cuaca di taman bermain itu sudah mulai dingin. Aku pun menolak dan berencana ingin langsung pulang ke rumah.

Keesokan harinya, aku datang ke rumah Airi lagi, kuketuk pintu rumahnya, dan… Ibunya membukakan pintu untukku. Di dalam, aku berbincang-bincang dengan Ibunya mengenai Airi. “Ya, memang… Airi harus ada di Australia sekarang, tidak mungkin aku mondar-mandir, biayanya saja juga sudah mahal… Padahal aku mengumpulkan uang untuk biasa pengobatan Ayahnya…” Eh? Ayah Airi? Kenapa…? Aku pun bertanya secara detail kepada Ibu Airi. Dengan menghela nafas, ia menjawab, “Ayah Airi harus dirawat di rumah sakit karena harus koma di rumah sakit di Australia… Ya, memang Ayah Airi bekerja di sana, tapi entah aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja aku mendengar kabar bahwa Ayah Airi koma…”

Ternyata begitu, Ayah Airi koma entah karena apa di Australia, dan karena tidak mau mondar-mandir, akhirnya Ibunya memutuskan untuk membawa Airi ke sana. Tapi, kenapa Airi tidak mau ya? Oh, karena dia tidak mau berpisah denganku. Tanpa berpikir dahulu aku mengucapkan, “Biar aku yang akan meyakinkannya untuk ikut dengan Bibi!” Padahal aku nggak mau itu terjadi, tapi apa boleh buat, kasihan juga Ayah Airi… Dan saat aku hendak pulang, aku bertemu dengan Airi. “Lho? Hikari? Kau habis dari rumahku? Ahahaha, maaf ya! Aku habis pergi ke tempat temanku, habis kerjain PR bareng, ada apa?”, tanya Airi dengan senyum khasnya. Aku hanya memandang Airi dengan serius dan berkata dengan keras, “Tolong! Kau harus ikut pindah dengan Ibumu! Aku mohon, Airi!” Sepertinya Airi syok mendengar apa yang aku bicarakan itu nggak seperti biasanya. Dan, responnya hanyalah tertawa sambil berkata, “Ngomong apa kamu, Hikari? Hahahaha, jangan membuatku geli! Aku tidak akan…”

“Kumohon Airi! Ini demi Ayahmu!”

“… Eh?” Dengan tegas aku mengatakan itu… Ini terpaksa! Walaupun sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, tapi… Ini demi kebaikan Ayahnya dan Ibunya! “Airi, kumohon, Ayahmu koma kan? Dan Ibumu tidak mau repot mondar-mandir lagi, jadi… Tolonglah kau turuti keinginan Ibumu!”, kataku dengan lantang. Airi hanya terdiam karena syok dan berjalan ke arahku sambil berkata, “Kenapa…? Kenapa kau menginginkanku pergi, Hikari? Kau… Kau kenapa kau melakukan ini?!” Aku hanya terdiam memandang wajah Airi. Mata yang berkaca-kaca… Aku mengerti perasaanmu, Airi, tapi… Ini demi kebaikan keluargamu!

“Kenapa kau begini? Kau sudah tidak membutuhkan aku?”

“Bukan begitu…”

“Jawab aku! Hikari!”

“KAU HARUS MENGERTI, AIRI!”, Airi hanya terdiam dan aku melanjutkan perkataanku, “Ayahmu sakit… Dan Ibumu kerepotan karena kau tidak mau ikut ke Australia, kumohon Airi… Ibumu susah payah mengumpulkan uang untuk biasa pengobatan Ayahmu yang koma! Tetapi sebagian uang itu, harus digunakan untuk mondar-mandir ke kota ini… Sebaiknya, kau pindah saja… Bukan karena aku membencimu atau sudah tak membutuhkanmu lagi, tetapi… Kau lebih mementingkan yang mana…? Aku… Atau keluargamu?” Airi terdiam kaku seperti patung batu setelah mendengar perkataanku. Tapi ya bagaimana lagi, ini satu-satunya caraku untuk membujuk dia. Tak tahan aku menahan mataku yang berkaca-kaca lagi, dan akhirnya aku menumpahkan air mata tersebut. Airi hanya terdiam melihatku, terpaku di depanku. “Airi… Maaf…”

“Bukan saatnya untuk minta maaf, Hikari! Perkataanmu benar… Sepertinya aku harus segera meninggalkan kota ini, tapi… Bagaimana denganmu?”, tanya Airi dengan matanya yang masih berkaca-kaca. Lalu aku hanya membalas dengan senyuman dan berkata, “Aku akan baik-baik saja di sini, walaupun kau tidak ada di sisiku!” Lalu Airi mengusap air matanya dan balas tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyuman Airi. Airi, aku tahu, kamu adalah temanku yang berbeda, paling hebat antara temanku yang lain, tetapi… Pergilah, dan kau tidak usah mengkhawatirkanku, karena aku akan baik-baik saja… Keesokan harinya, aku mengantar Airi dan Ibunya ke bandara. Sebelum pergi, aku berpamitan dengan Airi dan Ibunya. “Hati-hati ya, Bibi!”, “Iya, kau juga baik-baik ya!”

“Hikari…”

“Ya?”

“Jangan lupakan aku ya, walaupun kita berjauhan, aku adalah teman terbaikmu sampai akhir!”, kata Airi dengan semangat. Lagi-lagi, aku menangis mendengarnya. Tetapi tangisan ini adalah tangis bahagiaku, tangis bahagiaku kepada Airi. Ya, aku adalah teman baikmu, jadi… Selamanya kita akan berteman ya, walaupun jarak memisahkan kita, tetapi kita tetap bersatu. Aku tahu itu Airi, dan… Cepatlah! Pesawat sudah menunggumu di sana…

“Hikari! Ini janji kita ya!”, kata Airi sambil memberiku sebuah pembatas buku yang bertuliskan ‘Airi & Hikari, Best Friend Forever’ itu. Hahaha, sungguh lucu sekali aku diberi seperti ini, tapi.. Ini adalah kenangan kok! Akan kujaga baik-baik! Selamat tinggal… Airi… Aku adalah temanmu… Selamanya…

Bertahun-tahun lamanya, semenjak Airi pergi, aku selalu membawa pembatas buku itu ke mana-mana. Dan saat itu adalah pendaftaran mahasiswa baru. Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju tempat pendaftaran dan tak sengaja aku menabrak seorang laki-laki yang tinggi. “Ah! Maafkan aku!”, sambil membereskan buku-bukuku yang terjatuh itu, laki-laki itu mengambil pembatas buku yang terjatuh bersama buku-buku itu dan membaca. Aku hanya terdiam melihatnya. “Oh? Temanmu ya?”, tanya laki-laki itu sambil mengembalikan pembatas buku itu. Aku hanya menjawab, “Iya! Dia teman kecilku yang paling hebat yang pernah kumiliki!” Laki-laki itu tertawa kecil mendengar jawabanku dan berkata, “Aku berpikir, pasti temanmu itu sehat-sehat saja… Dan dia akan selalu mengingatmu!” Aku terkejut, kenapa dengan laki-laki ini? Lalu aku melihat jam tanganku dan syok. Ya ampun, gawat kalau aku telat! Lalu aku berkata sambil berlari, “Terima kasih sudah mengambil buku-bukuku! Sampai jumpa!” Laki-laki itu hanya tersenyum sambil berbisik, “Hikari tetap saja Hikari… Hahaha, dasar kau ini… Sudah bertahun-tahun lamanya, tetap saja tak berubah… Dasar ceroboh…”

Ichiiserenade di sini! Terima kasih sudah membaca ya! Aku ingin komentar kalian mengenai cerita ini! Hohoho, dan... Maaf kalau ada salah ketik, maklum, saya bikinnya jam 11 malem tadi hohoho, baru selesai jam segini, ah bodo amat! Hahahaha~ Terima kasih sudah membaca dan terima kasih komentarnya juga! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar