7/28/2011
Ini Ceritaku, Apa Ceritamu? - Ulangan IPS -
7/23/2011
Indomie - Ini Ceritaku, Apa Ceritamu?
Karena sudah jam 1 malam, toko semua sudah tutup (ngapain lu cari makan jam segitu?)
Aku bingung mau cari ci mana lagi
Karena semuanya tutup
Karena perut sudah memulai orkestra dadakannya, aku pun terus mencariiiiii sampai dapat
Dan akhirnya yang kutemukan adalah sebuah angkringan kecil dekat rumah berhantu
Aku pun mulai memesan makanan yang ada di sana
Nah, saat itu juga cuma ada Indomie goreng
Aku pun TERPAKSA membeli Indomie itu
Dengan ditemani oleh jeruk hangat
Rasanya sepertiiiii di surga!
Rasanya nendang sangat!
Sampai-sampai saya juga ikutan tertendang keluar
Dan tenda angkringan itu pun jebol gara-gara saya (?)
Akhirnya orkestra di perutku berhenti deh
드림하이 - Dream High
Dream High - 드림하이
School, Drama, Comedy, Romance
16 Episodes
Untuk main character di sini ada 6 murid (yaiyalah) mereka juga menyanyikan lagu Opening buat Dream High ini lho!
- Suzy - Go Hye Mi
- Kim Soo Hyun - Song Sam Dong
- Taecyeon - Jin Gook
- Ham Eung Jung - Yoon Baek Hee
- Wooyoung - Jason
- IU - Kim Pil Sook
- Uhm Ki Joon - Kang Oh Hyuk
- Lee Yoon Ji - Shii Kyung Jin
- Park Jin Young - Yang Jin Man
Dan buat Japan, bersabar ya, aku juga mau cari-cari tentang kalian 8'D /jleb Oke, sekian dulu ya, itu sedikit informasi! Ceritanya bagus kok, silahkan melihat-lihat~~ ~( ̄▽ ̄~)(~ ̄▽ ̄)~
7/06/2011
~ Always Remember You ~ By. Ichiiserenade
“Perkenalkan! Namaku Raubutto Airi! Salam kenal ya, Hikari!”
Halo, musim semi sekarang, ya… Saatnya memulai semester baru yang selama ini kutunggu-tunggu setelah liburan! Aku sangat menanti saat-saat ini! Ya, bertemu dengan teman lamaku di sekolah adalah hal yang paling kutunggu. Semoga saja dia membawa kabar baik tentang liburannya ke Australia. Ya, namanya adalah Raubutto Airi, dia berbeda kelas denganku, walaupun beda kelas, kami tetaplah dekat, karena dia yang pertama kali kukenal sejak kecil. Dialah teman bermainku.
Saat masuk ke kelas, aku belum melihat kedatangan Airi di kelas, biasanya kalau sudah datang, ia akan datang ke kelasku untuk menungguku dan berbagi cerita yang menyenangkan. Tapi, dia belum juga muncul sampai sekarang. Ya sudahlah, aku tunggu dia saja. Bel masuk pun berbunyi dan akhirnya Airi muncul, aku pun menyapanya dengan senang.
“Airi! Selamat pagi! Bagaimana liburanmu?”
Dengan tidak sengaja, kulihat wajah Airi yang menunjukkan ekspresi sedih. Ia hanya lewat begitu saja, tidak ada jawaban ataupun sapaan yang biasanya ia lakukan kepadaku setiap saat. Aku bingung, apa yang sedang terjadi dengannya? Saat istirahat pun aku mencoba mengajak makan bersama, dan jawabannya adalah, “Tidak usah, aku sedang tidak lapar…” Ada apa dengannya sebenarnya? Aku semakin penasaran dan ketika pulang pun aku tanya, “Airi, kau kelihatan tidak bersemangat, kenapa?” Dan lagi, jawabannya adalah, “Eh? Masa? Hahahaha! Nggak ada apa-apa kok hahaha!” Ekspresi memaksa… Ya, aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu, dia mencoba menyembunyikan ekspresi aslinya, agar aku tidak merasa cemas, tapi aku tahu betul, kau sedang ada masalah yang mungkin aku tidak bisa bantu… Tapi siapa tahu aku bisa membantunya sedikit. Seperti biasanya, aku bersama dengan Airi selalu pulang bersama, tapi dengan suasana yang berbeda. Biasanya dia menceritakan sesuatu tentang Australia atau cerita horror yang ia dengar atau cerita lain, tetapi… Kali ini, ia hanya terdiam dengan ekspresinya yang membuatku khawatir. “Airi? Kau tidak apa-apa kan? Kalau ada apa-apa, ceritakan saja padaku!”, kataku dengan semangat. Tetapi, jawabannya adalah, “Sudah kubilang, ini tidak apa-apa…”
“Tapi kau lain dari biasanya, Airi… Ada masalah ya?”
“Nggak ada, Hikari… Nggak ada apa-apa, jangan khawatir!” Justru itu yang membuatku khawatir, Airi! Kalau kamu tidak cerita, aku pasti akan tambah khawatir lagi! Atau aku harus bertanya kepada orang tuanya ya? Tapi, jangan-jangan ini urusan keluarga, jadi nggak usah deh… Keesokan harinya, aku melihat bangku yang biasanya Airi gunakan itu kosong. Ya ampun, ke mana dia? Kenapa dia tidak mengabariku? Biasanya jika tidak masuk, dia akan mengabariku lewat SMS, apa mungkin aku ke rumahnya saja ya? Yasudahlah, kuputuskan untuk pergi ke rumahnya untuk melihat situasi Airi. Dan saat aku sampai di depan rumah Airi, saat hendak kuketuk pintu rumahnya, terdengar suara perdebatan antara Airi dan Ibunya.
“Aku tidak mau meninggalkan kota ini, Bu!”
“Apa kau mau tinggal di sini sendirian?! Kau harus ikut bersama Ibu ke Australia!”
“Nggak mau!!! Aku ingin tetap bertahan di kota ini!” Apa ini…? Jadi, itu akibatnya ia berekspresi aneh dan menyembunyikan perasaan sesungguhnya terhadapku? Airi akan pindah ke Australia? Saat itu juga, aku berpikir untuk tidak mengetuk pintu rumahnya dan berlari menuju taman bermain yang sedang kosong di dekat rumah Airi. Sambil duduk di sebuah ayunan yang sudah agak berkarat itu pun aku berpikir tentang Airi jika ia benar-benar akan pindah dan meninggalkan kota ini. Aku… Aku tidak akan punya teman lagi! Temanku yang terbaik hanyalah Airi! Aku menyukai Airi! Aku tidak mau Airi pergi! Aku ingin… Aku ingin Airi tetap bersamaku selamanya di kota ini! Tiba-tiba…
“H-Hikari?”
“Ah…”, kupandang wajah Airi yang terkejut melihatku ada di taman itu. Melihat wajahnya saja aku sudah meneteskan air mata perlahan. Lalu Airi duduk di ayunan yang ada di sebelahku. “Jadi, kau sudah mengetahuinya, Hikari?”, tanyanya dengan wajah serius. Aku hanya menganggukkan kepala sambil mengusap air mataku. “Hikari, sebenarnya aku tidak mau meninggalkan kota ini! Aku ingin tetap ada di sini bersama Hikari! Bertemu Hikari setiap saat, dan selalu berbagi cerita denganmu… Tapi Ibu memaksaku, aku bingung harus bagaimana…”, katanya dengan menundukkan kepalanya.
“Airi… Aku juga tidak mau berpisah denganmu…”
“Hikari…” Kaulah temanku yang paling baik dan paling hebat yang selama ini pernah aku dapatkan. Jika kamu pergi, siapa penggantinya? Kau adalah teman yang berbeda dengan teman-temanku yang lain, kau lebih hebat, jujur, pintar, ceria, dan penghibur. Tak ada yang memiliki sifat seperti kamu. Aku tidak punya teman seperti itu selain kamu… Maka dari itu, jangan pergi, Airi! “Ah, di sini mulai dingin, Hikari, ayo masuk ke rumahku dulu saja! Aku punya teh yang enak!”, tiba-tiba Airi mengajakku masuk karena cuaca di taman bermain itu sudah mulai dingin. Aku pun menolak dan berencana ingin langsung pulang ke rumah.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah Airi lagi, kuketuk pintu rumahnya, dan… Ibunya membukakan pintu untukku. Di dalam, aku berbincang-bincang dengan Ibunya mengenai Airi. “Ya, memang… Airi harus ada di Australia sekarang, tidak mungkin aku mondar-mandir, biayanya saja juga sudah mahal… Padahal aku mengumpulkan uang untuk biasa pengobatan Ayahnya…” Eh? Ayah Airi? Kenapa…? Aku pun bertanya secara detail kepada Ibu Airi. Dengan menghela nafas, ia menjawab, “Ayah Airi harus dirawat di rumah sakit karena harus koma di rumah sakit di Australia… Ya, memang Ayah Airi bekerja di sana, tapi entah aku tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja aku mendengar kabar bahwa Ayah Airi koma…”
Ternyata begitu, Ayah Airi koma entah karena apa di Australia, dan karena tidak mau mondar-mandir, akhirnya Ibunya memutuskan untuk membawa Airi ke sana. Tapi, kenapa Airi tidak mau ya? Oh, karena dia tidak mau berpisah denganku. Tanpa berpikir dahulu aku mengucapkan, “Biar aku yang akan meyakinkannya untuk ikut dengan Bibi!” Padahal aku nggak mau itu terjadi, tapi apa boleh buat, kasihan juga Ayah Airi… Dan saat aku hendak pulang, aku bertemu dengan Airi. “Lho? Hikari? Kau habis dari rumahku? Ahahaha, maaf ya! Aku habis pergi ke tempat temanku, habis kerjain PR bareng, ada apa?”, tanya Airi dengan senyum khasnya. Aku hanya memandang Airi dengan serius dan berkata dengan keras, “Tolong! Kau harus ikut pindah dengan Ibumu! Aku mohon, Airi!” Sepertinya Airi syok mendengar apa yang aku bicarakan itu nggak seperti biasanya. Dan, responnya hanyalah tertawa sambil berkata, “Ngomong apa kamu, Hikari? Hahahaha, jangan membuatku geli! Aku tidak akan…”
“Kumohon Airi! Ini demi Ayahmu!”
“… Eh?” Dengan tegas aku mengatakan itu… Ini terpaksa! Walaupun sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, tapi… Ini demi kebaikan Ayahnya dan Ibunya! “Airi, kumohon, Ayahmu koma kan? Dan Ibumu tidak mau repot mondar-mandir lagi, jadi… Tolonglah kau turuti keinginan Ibumu!”, kataku dengan lantang. Airi hanya terdiam karena syok dan berjalan ke arahku sambil berkata, “Kenapa…? Kenapa kau menginginkanku pergi, Hikari? Kau… Kau kenapa kau melakukan ini?!” Aku hanya terdiam memandang wajah Airi. Mata yang berkaca-kaca… Aku mengerti perasaanmu, Airi, tapi… Ini demi kebaikan keluargamu!
“Kenapa kau begini? Kau sudah tidak membutuhkan aku?”
“Bukan begitu…”
“Jawab aku! Hikari!”
“KAU HARUS MENGERTI, AIRI!”, Airi hanya terdiam dan aku melanjutkan perkataanku, “Ayahmu sakit… Dan Ibumu kerepotan karena kau tidak mau ikut ke Australia, kumohon Airi… Ibumu susah payah mengumpulkan uang untuk biasa pengobatan Ayahmu yang koma! Tetapi sebagian uang itu, harus digunakan untuk mondar-mandir ke kota ini… Sebaiknya, kau pindah saja… Bukan karena aku membencimu atau sudah tak membutuhkanmu lagi, tetapi… Kau lebih mementingkan yang mana…? Aku… Atau keluargamu?” Airi terdiam kaku seperti patung batu setelah mendengar perkataanku. Tapi ya bagaimana lagi, ini satu-satunya caraku untuk membujuk dia. Tak tahan aku menahan mataku yang berkaca-kaca lagi, dan akhirnya aku menumpahkan air mata tersebut. Airi hanya terdiam melihatku, terpaku di depanku. “Airi… Maaf…”
“Bukan saatnya untuk minta maaf, Hikari! Perkataanmu benar… Sepertinya aku harus segera meninggalkan kota ini, tapi… Bagaimana denganmu?”, tanya Airi dengan matanya yang masih berkaca-kaca. Lalu aku hanya membalas dengan senyuman dan berkata, “Aku akan baik-baik saja di sini, walaupun kau tidak ada di sisiku!” Lalu Airi mengusap air matanya dan balas tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyuman Airi. Airi, aku tahu, kamu adalah temanku yang berbeda, paling hebat antara temanku yang lain, tetapi… Pergilah, dan kau tidak usah mengkhawatirkanku, karena aku akan baik-baik saja… Keesokan harinya, aku mengantar Airi dan Ibunya ke bandara. Sebelum pergi, aku berpamitan dengan Airi dan Ibunya. “Hati-hati ya, Bibi!”, “Iya, kau juga baik-baik ya!”
“Hikari…”
“Ya?”
“Jangan lupakan aku ya, walaupun kita berjauhan, aku adalah teman terbaikmu sampai akhir!”, kata Airi dengan semangat. Lagi-lagi, aku menangis mendengarnya. Tetapi tangisan ini adalah tangis bahagiaku, tangis bahagiaku kepada Airi. Ya, aku adalah teman baikmu, jadi… Selamanya kita akan berteman ya, walaupun jarak memisahkan kita, tetapi kita tetap bersatu. Aku tahu itu Airi, dan… Cepatlah! Pesawat sudah menunggumu di sana…
“Hikari! Ini janji kita ya!”, kata Airi sambil memberiku sebuah pembatas buku yang bertuliskan ‘Airi & Hikari, Best Friend Forever’ itu. Hahaha, sungguh lucu sekali aku diberi seperti ini, tapi.. Ini adalah kenangan kok! Akan kujaga baik-baik! Selamat tinggal… Airi… Aku adalah temanmu… Selamanya…
Bertahun-tahun lamanya, semenjak Airi pergi, aku selalu membawa pembatas buku itu ke mana-mana. Dan saat itu adalah pendaftaran mahasiswa baru. Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju tempat pendaftaran dan tak sengaja aku menabrak seorang laki-laki yang tinggi. “Ah! Maafkan aku!”, sambil membereskan buku-bukuku yang terjatuh itu, laki-laki itu mengambil pembatas buku yang terjatuh bersama buku-buku itu dan membaca. Aku hanya terdiam melihatnya. “Oh? Temanmu ya?”, tanya laki-laki itu sambil mengembalikan pembatas buku itu. Aku hanya menjawab, “Iya! Dia teman kecilku yang paling hebat yang pernah kumiliki!” Laki-laki itu tertawa kecil mendengar jawabanku dan berkata, “Aku berpikir, pasti temanmu itu sehat-sehat saja… Dan dia akan selalu mengingatmu!” Aku terkejut, kenapa dengan laki-laki ini? Lalu aku melihat jam tanganku dan syok. Ya ampun, gawat kalau aku telat! Lalu aku berkata sambil berlari, “Terima kasih sudah mengambil buku-bukuku! Sampai jumpa!” Laki-laki itu hanya tersenyum sambil berbisik, “Hikari tetap saja Hikari… Hahaha, dasar kau ini… Sudah bertahun-tahun lamanya, tetap saja tak berubah… Dasar ceroboh…”
7/05/2011
~ Reunion ~ By. Ichiiserenade
Ada sebuah hutan di mana seorang anak kecil tinggal di sana bersama para hewan yang setia menemaninya setiap waktu. Ya, anak kecil itu minggat dari rumah dan tidak memiliki teman sama sekali. Makanya, dia hanya bisa berteman dengan hewan-hewan di hutan, dan ketika manusia datang untuk membawanya pulang ke rumah aslinya, ia pasti menjawab, “Inilah rumahku! Kau tidak mengerti!”. Dan suatu ketika, saat matahari pagi sudah muncul, ia bangun dan segera mencari beberapa bahan untuk ia makan. Ia terus berjalan ke pelosok hutan untuk mencari ranting kering dan bahan makanan. Tiba-tiba, muncullah seekor rusa yang indah mendekati gadis kecil itu. Lalu si gadis kecil itu mengelus rusa yang jinak itu sambil berkata, “Wah, kau indah sekali, bulumu halus, tandukmu indah! Maukah kau berteman denganku, rusa?”. Rusa itu hanya memandang wajah gadis kecil itu. “Kenapa? Kamu nggak mau berteman denganku?”, tanya si gadis kecil. Saat itu juga, terdengar sebuah bunyi pistol di hutan, dan rusa itu kabur dengan cepatnya meninggalkan gadis kecil itu. Gadis kecil itu kebingungan mau berlari ke arah mana. Tiba-tiba, ia menemukan seorang pemburu rusa.
“Eh? Kenapa ada anak kecil di sini?”, tanya pemburu sambil mendekati si gadis kecil.
“Siapa kamu?! Jangan-jangan kau mau membawaku pulang lagi ya?!”
“Eh? Maksudnya apa? Dan kenapa kamu ada di sini?”
“Itu bukan urusanmu!”. Si pemburu lalu tertawa kecil dan bertanya, “Ya ampun, hei kau, siapa namamu?”. Si gadis kecil itu hanya memandang si pemburu dengan sinis. “Ayolah, jangan memandangku seperti itu, nanti kamu kutembak lho!”, “Namaku Shara! Aku lari dari rumah karena orang tuaku selalu bertindak menyebalkan! Aku benci orang tuaku!”
“Lho.. Lho… Nggak boleh lho membenci orang tua yang sudah merawat kita sejak kecil! Nanti kamu kena karma lho?”, ancam si pemburu kepada Shara si gadis kecil. Shara hanya terdiam. “Hahaha, oke, jangan takut, aku tak akan membawamu pulang kalau kau benar-benar nggak mau. Namaku Tsukasa, aku sering berburu di sini! Boleh aku menemanimu?”. Tak disangka, ada yang mau berteman dengan Shara. Shara hanya terkejut dan bertanya, “Kenapa kau mau berteman dengan orang yang nggak benar seperti aku?”. Lalu Tsukasa tertawa dan mengusap-usap kepala Shara sambil menjawab, “Karena sepertinya, kau butuh teman yang sesungguhnya, bukan hewan, tapi manusia… Hehehe!”. Akhirnya SHara pun mempercayainya dan berjalan bersamanya sepanjang hutan.
“Eh, kamu sudah makan belum?”
“Memangnya kenapa?”
“Aku lapar….”. Shara hanya memandang Tsukasa dan mengundangnya ke rumah. “Tapi kita mau makan apa di sini?”, tanya Tsukasa kepada Shara. “Ya ampun, bawel diem aja! Aku masih ada persediaan makanan!”, jawab Shara marah. Tsukasa hanya tersenyum. Sesampainya di rumah Shara, banyak hewan-hewan berkumpul dan kaget ketika melihat seorang pemburu datang bersama teman baik mereka, Shara. Secara otomatis, semua hewan di sana geram dan mencoba mengusir si pemburu. “Tenang semuanya! Dia tidak akan memburu kalian!”, kata Shara agar teman-temannya itu terdiam. Tsukasa hanya memandang hewan-hewan yang mencoba mengusirnya. Lalu Tsukasa mendekati Shara dan menepuk pundaknya. “Tak apa, aku akan mencari makanan sendiri…”, kata Tsukasa lalu pergi meninggalkan Shara. Shara hanya memandangnya dengan bingung. “Kalian, kenapa kalian menusirnya?”, tanya Shara kepada para hewan yang tadi mengusir Tsukasa.
‘Karena dia adalah pemburu!’
‘Ya! Kami benci pemburu! Dia akan membunuh kami dan dijadikan makanan!’
“Tapi dia baik! Percayalah kepadaku, teman-teman!”, kata Shara mencoba agar teman-temannya itu tidak membencinya. ‘Kau mau kami semua hilang dari hutan ini?’, tanya seekor burung merpati. Shara hanya memandangi mereka dan segera pergi menemui Tsukasa. Di sebuah tempat, ia berjumpa dengan Tsukasa. “Lho? Kamu nggak main sama mereka?”, tanya Tsukasa. “Tidak… Mereka tak mempercayaiku…”, jawab Shara sambil duduk di sebelah Tsukasa. Tsukasa hanya tersenyum konyol. “Sana kau main saja, aku taka pa-apa di sini!”
“Dulu aku punya seorang kakak yang sangat baik sekali…”
“Eh?”
“Dia menyukai hewan dan selalu mencintai hewan yang ada di sekitarnya. Tapi, sekarang kakakku menghilang entah ke mana… Aku ingin sekali bertemu dengannya! Tapi, jika aku mencarinya di kota juga percuma… Aku lupa nama kakak… Dia mirip sekali denganmu, sifat konyolmu itu…”, kata Shara menceritakan tentang kakaknya. “Mungkin kakakmu ada di suatu tempat dan dia pasti sangat merindukanmu!”, kata Tsukasa sambil melihat langit. Shara hanya terdiam. Malam pun mewarnai hutan itu. Keadaan di hutan sangatlah gelap. Tak ada lampu seperti di kota, hanya ada satu lampu di rumah kecil Shara. Shara hanya sendirian di rumahnya, karena Tsukasa sudah pulang dari perburuannya. Tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk. Dibukanya pintu itu dan… SLAP! Shara tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa meronta kepada 2 orang pemburu yang mencoba membawa Shara ke tempat orang tuanya. “TOLOONG! AKU TIDAK MAU PULANG!!!”, ronta Shara kepada kedua pemburu yang menculiknya itu. Lalu kedua pemburu itu mendorong Shara hingga jatuh. “Orang tuamu membayar kami lebih! Jadi jangan macam-macam kau!”, kata salah satu pemburu itu. Shara kaget dan bertanya, “Maksudmu apa?!”. Lalu salah satu pemburu itu menunjukkan sebuah kertas pencarian dan menyinarinya dengan lampu senter. Dicari : Seorang anak kecil bernama Shara Rangrioff, keberadaannya ada di hutan yang paling luas di daerah ini. Jika menemukannya, harap membawanya pulang ke rumah kami, kami akan membayar kalian dengan 100.000.000 Dollar.
Shara hanya terdiam sambil melihat kertas itu dan meronta lagi. “IDIOT! KALIAN SEMUA IDIOT!! HEY KAMU ORANG IDIOT! KEMBALIKAN AKU!”, teriak Shara sambil menangis. “Kau tak akan bisa kembali ke hutan ini!”. Lalu kedua pemburu itu memasukkan Shara ke dalam mobil yang mereka bawa dan segera menuju rumah orang tua Shara. Tidak ada yang bisa menolong Shara di malam-malam seperti itu, ia hanya pasrah… Ketika tiba di rumah orang tuanya. Orang tuanya lalu muncul sambil membawa tas koper berisi uang dollar yang dijanjikan. “Terima kasih atas kerja kalian yang baik, dan sesuai janjiku…”, Ayah Shara meletakkan koper di atas meja dan membukanya. Banyak sekali uang dollar yang ada di dalamnya. Shara terkejut melihat uang yang begitu banyak. “Ayah… Kenapa Ayah seperti ini?! Aku benci Ayah! Kembalikan aku!”, teriak Shara dengan kesal. “Shara! Diam kamu!”, kata Ayah Shara dengan keras. Shara hanya terdiam sambil menahan tangis.
Paginya, Tsukasa mengetuk pintu rumah Shara dan kebingungan karena Shara tidak membukakan pintunya. Dan seekor burung merpati datang dan menjelaskan bahwa Shara tadi malam telah diculik dan dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Dengan segera Tsukasa pergi ke rumah orang tuanya bersama si merpati. Pagi itu juga di rumah orang tua Shara yang besar itu, Shara hanya menatap langit di luar ditemani oleh Ibunya. “Shara, kamu kenapa? Seharusnya kau bahagia bisa tinggal sama orang tuamu lagi…”
“Apanya yang bahagia?! Justru aku disia-sia di sini! Aku ingin pulang ke hutan!”
“Kenapa kamu seperti itu, Shara?! Lancang sekali kau…”
“AKU INGIN KE HUTAN!”. Dengan segera Shara berlari ke gerbang dan mencoba memanjat gerbang itu. Tetapi ia dicegah oleh Ibunya. “LEPASKAAANN!!!”, teriak Shara meronta ketika ia dicegah oleh Ibunya. “Kenapa?! Kenapa kau ingin sekali kembali, Shara?!”, tanya Ibunya dengan sedih. “Karena… KARENA AKU INGIN BERTEMU KAK TSUKASA!”, jawab Shara dengan keras. Ibunya terkejut mendengar kata ‘Tsukasa’ yang diucapkan Shara.
Tiba-tiba…
“Shara!!! Sharaa!!!”
“KAK TSUKASA!!!! LEPASKAN AKU! TOLONG!”
“Tsukasa?!”. Tsukasa berhenti berlari ketika melihat Ibu Shara. Shara terus meminta tolong kepada Tsukasa. Tetapi Tsukasa tidak dapat berkutik. Ibu Shara langsung mendekati Tsukasa. “Kamu… Tsukasa?”, tanya Ibu Shara. Tsukasa hanya menganggukkan kepala. Shara terdiam kebingungan. “Kak Tsukasa! Bawa aku kembali!”, teriak Shara. Lalu Tsukasa membawa Shara pergi dan Ibu Shara pun hanya bisa berteriak dari halaman rumah. Lalu Tsukasa menengok ke belakang dan berbisik, “Maafkan aku… Ibu…”.
Tibalah ia di hutan, si merpati yang menjadi teman Shara pun terbang ke atas kepala Shara dan mengucapkan selamat datang kepada Shara dan Tsukasa. “Kak Tsukasa, terima kasih ya!”, kata Shara lalu tersenyum ke arah Tsukasa. Tetapi Tsukasa hanya menunduk dengan wajah sedih. “Kak?”, “Sepertinya kita harus kembali, Shara…”
“Kenapa? Kau ingin melihatku disiksa sama Ayah dan Ibuku ya?”
“Bukannya begitu…”
“Lalu?”. Tsukasa hanya terdiam dan duduk di sebuah kayu yang sudah tua. “Aku baru tahu… Kamu adalah Shara Rangrioff…”, jawab Tsukasa. Lalu Shara mendekati Tsukasa dengan bingung. “Lalu kenapa kalau aku Shara Rangrioff?”, tanya Shara penasaran.
“Aku… Aku adalah.. Perkenalkan, aku adalah Tsukasa Rangrioff alias… Kakakmu…”
Shara langsung terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Tsukasa adalah kakaknya. “Bohong! Kau pasti berbohong!”, “Tidak… Aku serius, Shara! Ayo kembali ke rumah!”. Langsung saja Tsukasa menyeret Shara dan Shara mencoba menolak ajakan kakaknya itu. “Ibumu mengkhawatirkanmu! Sungguh!”, kata Tsukasa mencoba membuatnya mau pulang ke rumah. “Nggak! Aku ingin di sini! Kenapa kakak sama saja dengan orang tuaku?! Keras kepala!”
“Justru kamu yang keras kepala!”
“…”. Suasana hening, hanya ada suara angin yang meniup pepohonan hingga bergoyang dengan luwesnya. “Ayah dan Ibumu sudah berbeda pastinya! Mereka pasti tidak akan melakukan itu, jika mereka masih melakukan itu, aku yang akan bicara dengan mereka…”, kata Tsukasa, “Ayo, kau akan tinggal bersama kakak…”, lanjut Tsukasa.
“Kalau kau bisa… Kau harus coba membujuk Ibu dan Ayah agar dia tidak melakukan hal yang sama seperti saat aku kecil!”
“Hmm… Okedeh! Percayakan pada kakakmu ini!”. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua mereka. Sebelum pulang, Shara harus berpamitan kepada teman-teman hutannya dan berjanji akan kembali untuk bermain bersama mereka lagi setiap saat.
Di rumah Ayah dan Ibu mereka…
“Ayah! Ibu! Aku di sini!”
“Shara! Kau ke…”
“Ibu, Ayah… Aku pulang….”. Semua terkejut melihat Tsukasa bersama Shara. “Tsukasa… Kenapa kau ada di sini?”, tanya Ayahnya. “Ya, aku sedang berlibur, tapi aku bingung alamat Ibu dan Ayah, jadi… Maaf jika aku tidak bilang-bilang…”, jawab Tsukasa dengan santai. Lalu Shara mendekati Tsukasa dan berbisik, “Ayo lakukan, kak!”.
“Sebenarnya, Shara berniat kembali ke sini dengan satu syarat… Maukah kalian mendengarkannya?”, tanya Tsukasa. Ayah dan Ibunya hanya menganggukkan kepala. “Bisakah kalian tidak menyakiti Shara lagi? Agar dia betah tinggal di rumah lagi! Dan ijinkan dia bermain bersama teman-temannya lagi di hutan… Aku mohon…”, lanjut Tsukasa menjelaskan maksud syarat tadi. Lalu Ayah dan Ibunya tertawa dan saling memandang., “Maafkan Ibu dan Ayah ya Shara, selama ini kau tidak betah karena kami sering memarahimu, Ibu dan Ayah janji… Tidak akan membuatmu menderita seperti itu, dan jangan kabur ke hutan lagi ya! Bukan maksudnya kami melarang kamu ke hutan, kau boleh ke sana, tapi kau harus tetap pulang ke rumah, oke?”
“Yaaa!!!”
Dengan demikian, akhirnya mereka berkumpul dan menjadi keluarga yang berbahagia. Keesokan harinya, Tsukasa harus pulang ke Jepang karena kuliahnya sudah akan dimulai lagi. Shara merasa sedih akan ditinggalkan kakaknya lagi. “Shara, kalau mau, kau telpon saja kakak ya! Kakak akan kembali di liburan mendatang kok! Santai saja, Shara juga harus baik-baik ya di sini! Salam buat teman-teman hutanmu!”, kata Tsukasa mencoba menghibur Shara yang sedang sedih itu. Lalu Shara berteriak dengan kencang, “IYA! TERIMA KASIH, KAK TSUKASA!”
Terima kasih sudah mau membaca ya! Di sini masih bersama Ichiiserenade lho! Itu adalah cerita yang aku buat bulan ini, jadi... Mohon kritik dan sarannya ya! 8D Maaf juga kalau ada salah ketik di situ, biasalaah saya ngetiknya cepet banget wwww~~~! Makasih sebelumnya! 8D Jaa! Matta ashita ne! *dissapear*
7/04/2011
Fanfic - Yabunoo (H! S! J)
Minna! Kembali pada Ichiiserenade! Maaf ya, ini cerita fanficnya abal banget, soalnya aku nggak begitu beride dan hanya ada ini di kepalaku! Maaf banget ya buat penggemarnya Kota Yabu sama Kei Inoo! Hoho, walau abal, ini masih bsia dinikmati! Jadi... Selamat menikmati!
Suatu hari, di hari yang cerah, ada sebuah konser boyband Jepang yang dilaksanakan dengan sangat meriah. Ketika sedang break di belakang panggung, terjadi sedikit keributan. Keributan itu berawal dari sebuah ruang ganti yang hanya ada Yabu dan Inoo di dalam.
“Yabu! Jangan di situ!”
“Eh? Maaf ya, yang di mana dong?”
“Agak ke bawah!”
“Di sini???”
“Nah, iya, mantab di situ!”
Percakapan Yabu dan Inoo membuat semua personil Hey! Say! JUMP semakin mencurigai apa yang mereka lakukan di dalam ruang ganti itu berdua. “Jangan-jangan, mereka pacaran ya?”, bisik Hikaru kepada Yuto yang saat itu sedang duduk sambil minum teh rasa leci itu. “Nggak ngerti, pembicaraan yang sangat mencurigakan di dalam sana…”, jawab Yuto sambil kembali meminum teh rasa lecinya itu. Terdengar lagi pembicaraan mereka.
“Aw~ Jangan! Jangan lakukan itu!”
“Ayolah Inoo! Aku ingin mencobanya untuk yang pertama kali!”
“Eh, tapi…!”
“Menurut saja sama Yabu yang baik ini!”
Pembicaraan makin mencurigakan di dalam ruang ganti. Apa yang sebenarnya mereka lakukan di dalam? “M-mereka ngapain?!”, bisik Keito dengan wajah April Mop-nya. “Aku kenapa jaid berpikir yang aneh-aneh ya… Jangan-jangan mereka…”, kata Yamada dengan pelan. Semua menatap Yamada dengan wajah tegang karena ingin tahu kelanjutannya. “Jangan-jangan mereka melakukan ‘itu’?”, lanjut Yamada. “Hah?! Mana mungkin! Masa mereka melakukan ‘itu’ sih?!”, bisik Hikaru syok berat mendengar pernyataan Yamada tadi. “Kenapa kita tidak lihat langsung saja?”, tanya Chinen dengan polosnya kepada personil lain.
“Nggak semudah itu!”, bisik Yamada kepada Chinen.
“Lalu, kita mau apalagi? Ayo kita hentikan perbuatan ‘itu’ mereka!”
“Tapi nggak semudah itu, Chii!”
Ketika Yamada dan Chinen berdebat, tiba-tiba terdengar lagi percakapan antara Yabu dan Inoo. Lalu Yamada pun menguping pembicaraan itu.
“Sudah ah! Aku sudah puas sama perlakuan ini!”
“Yaelah, ini belom seberapa~! Ayo sekali lagi!”
“Eh tapi…!”
“Sudahlah lakukan saja!”. Gawat, sepertinya mereka melakukan kejadian ‘itu’ sekali lagi, dan karena curiga, akhirnya Chinen membuka pintu ruang ganti dan melihat mereka berdua. “JANGAN LAKUKAN HAL ‘ITU’ YA!”, teriak Hikaru dengan lantang. Lalu Yabu dan Inoo hanya memandangi mereka. “Eh? ‘Itu’ apa ya?”, tanya Yabu dengan tampang innocent miliknya. “Nggak usah pura-pura! Kalian melakukan ‘itu’ kan?!”, tanya Hikaru. Lalu Yabu dan Inoo saling berpandangan dan tiba-tiba tertawa keras. “Apaan sih Hika ini! Kalian juga kenapa wajahnya tegang begitu? Kamu ini lagi coba-coba ubah gaya rambut sama cari baju buat konser besok! Inoo akan memakai yang ini, dan aku yan ini!”, jawab Yabu sambil menunjukkan baju berenda nggak jelas dan gaya rambut mereka yang aneh itu. Semua terdiam. Krik… Krik… Krik…
“Tapi kenapa perbincangannya menjurus?!”
“Eh? Apa iya? Nggak kok!”
“Semua jadi curiga nih gara-gara kalian ngomongnya menjurus begitu!”
“Kaliannya saja yang mesum…”
“HEH!”. Dan cerita dibalik panggung ini pun berakhir dengan anarkis, karena Hikaru mencoba membanting kursi ke arah Yabunoo. Sekian (?)
Sekali lagi.. Hontou ni gomenasai! Fanfic ini abal jadi, saya butuh komentar tentang ini, dan terima kasih sudah mau membaca QAQ sekian dan.. Jaa~! Matta ashita!